Kritik terhadap Kebijakan Starlink di Indonesia
Beberapa akademisi dan organisasi terkait mengkritik langkah yang dilakukan oleh perusahaan teknologi global, Elon Musk, dalam membatasi akses masyarakat Indonesia terhadap layanan satelit orbit rendah Starlink. Alasan utamanya adalah kapasitas yang tersedia telah penuh, sehingga tidak dapat melayani semua pengguna.
Penggunaan layanan Starlink membutuhkan pembelian perangkat VSAT dengan harga sekitar Rp4,6 juta untuk versi standar. Selain itu, pengguna di kawasan residensial harus membayar biaya bulanan sebesar Rp750.000 untuk mendapatkan akses internet. Harga ini dinilai cukup mahal dan tidak dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Yosef M. Edward, menyatakan bahwa ia sudah memprediksi kejadian ini sejak lama. Menurutnya, bandwidth satelit Starlink terbatas dan akan mencapai titik jenuh, sehingga tidak bisa lagi melayani masyarakat secara merata.
Ian menilai tindakan Starlink dalam membatasi akses sangat merugikan masyarakat Indonesia. Ia juga mempertanyakan komitmen dari pihak Starlink terkait izin labuh dan frekuensi yang diberikan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Menurutnya, Starlink belum memberikan pemerataan layanan di seluruh wilayah Indonesia karena kapasitasnya terbatas.
“Seharusnya ada kewajiban USO. Harus dicek kembali apakah kewajibannya sudah dijalankan?” ujar Ian.
USO atau Universal Service Obligation adalah program pemerintah yang bertujuan menyediakan layanan dasar telekomunikasi dan informatika, termasuk internet, di daerah terpencil, perbatasan, dan tertinggal. Penyelenggara internet memiliki kewajiban untuk melakukan hal ini.
Ian juga memperkirakan dampak dari kebijakan Elon Musk akan berdampak pada pembangunan hub yang tidak terpenuhi, cakupan seluruh wilayah yang tidak terlaksana, serta pendapatan negara yang berkurang. Ia menyarankan agar izin labuh dan kewajiban Starlink ditinjau ulang.
“Seharusnya dari awal sudah ada berapa trafik yang akan diberikan ke Indonesia. Ini akibat semua sistem bukan dibangun di Indonesia. Penjual perangkat VSAT di Indonesia yang masih belum terjual, menjadi tidak punya nilai,” tambah Ian.
Sementara itu, Kepala Bidang Media Asosiasi Satelit Indonesia (Assi), Firdaus Adinugroho, menyarankan kepada para pengguna Starlink—baik yang sudah menggunakan maupun yang berencana menggunakan—untuk menunggu kejelasan lebih lanjut terkait langkah teknis maupun kebijakan dari pihak penyedia layanan dan otoritas terkait.
Assi juga mendorong pemerintah untuk memastikan bahwa kapasitas yang tersedia dari penyedia layanan satelit global seperti Starlink diprioritaskan untuk mendukung konektivitas di wilayah-wilayah yang belum terlayani, khususnya di daerah 3T.
“Prinsip keadilan akses dan pemerataan digital tetap harus menjadi pegangan utama dalam setiap kebijakan konektivitas nasional. Di saat yang sama, Assi juga mendorong perlindungan dan pemberdayaan industri satelit nasional agar tetap memiliki ruang tumbuh yang adil dan berkelanjutan, demi menjaga kedaulatan dan ketahanan infrastruktur digital Indonesia,” kata Daus.