Hak Cipta atas Wajah dan Suara di Denmark
Warga Denmark akan segera memiliki hak cipta atas wajah, fitur wajah, hingga suara mereka sendiri. Penggunaan wajah atau suara seseorang untuk dibuatkan gambar atau video berbasis kecerdasan buatan (AI), seperti deepfake, akan dikenakan sanksi. Pemerintah Denmark sedang berupaya mengubah UU Hak Cipta agar setiap warga memiliki hak atas tubuh, fitur wajah, dan suara mereka sendiri.
Setelah memperoleh persetujuan lintas-partai, Kementerian Kebudayaan Denmark berencana mengajukan proposal konsultasi perubahan UU Hak Cipta, sebelum reses pada musim panas. Setelah itu, kementerian akan mengajukan amandemen pada musim gugur. Menteri Kebudayaan Denmark, Jakob Engel-Schmidt, berharap rancangan UU Hak Cipta yang diajukan ke parlemen dapat memberi pesan yang tegas bahwa setiap orang berhak atas penampilan dan suara mereka.
Perubahan dalam UU Hak Cipta
Perubahan pada UU Hak Cipta secara teoritis akan memberikan orang-orang di Denmark kesempatan untuk menuntut platform seperti TikTok, Instagram, X alias Twitter, maupun YouTube untuk menghapus konten tersebut jika dibagikan tanpa persetujuan. Aturan ini juga akan mencakup ‘tiruan digital yang realistis’ dari penampilan seorang artis maupun deepfake, tanpa izin. Pelanggaran terhadap aturan yang diusulkan dapat mengakibatkan pelaku wajib memberikan kompensasi bagi mereka yang terkena dampak.
Engel-Schmidt menyatakan bahwa sudah mendapatkan dukungan sembilan dari 10 anggota parlemen. Ia menegaskan bahwa teknologi berkembang dengan cepat dan di masa depan akan semakin sulit untuk membedakan kenyataan dari fiksi di dunia digital. Oleh karena itu, UU baru tersebut akan menjadi pengaman terhadap misinformasi.
Pengecualian untuk Konten Parodi dan Satir
Pemerintah mengatakan aturan baru tersebut tidak akan memengaruhi konten parodi dan satir, yang masih diizinkan. Namun, pihaknya tetap menekankan pentingnya menjaga hak individu atas penampilan dan suara mereka.
Langkah-Langkah di Eropa terkait Deepfake
Denmark bukan satu-satunya negara yang menangani deepfake melalui UU baru. Di tingkat Uni Eropa, UU AI mengklasifikasikan apa pun yang dihasilkan oleh AI generatif ke dalam empat kategori, yaitu risiko minimal, risiko terbatas, risiko tinggi, dan risiko tidak dapat diterima. Deepfake dianggap sebagai risiko terbatas, sehingga konten ini tunduk pada beberapa aturan transparansi.
Tidak ada larangan langsung terhadap deepfake, tetapi perusahaan harus memberi label konten yang dihasilkan AI pada platform mereka dengan memberi tanda air pada video. Selain itu, perusahaan juga wajib menyebutkan AI apa yang digunakan. Jika perusahaan AI terbukti melanggar aturan transparansi, maka dikenakan denda hingga €15 juta atau 3% dari omzet global tahun sebelumnya. Denda dapat ditambah menjadi €35 juta atau 7% dari omzet global untuk praktik yang dilarang.
Selain itu, pasal lain dalam UU AI juga melarang AI manipulatif, yang dapat mencakup sistem yang menggunakan teknik subliminal atau menipu untuk merusak pengambilan keputusan yang terinformasi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Eropa sangat serius dalam mengatur penggunaan AI, khususnya dalam menjaga keamanan dan privasi masyarakat.